Cerpen: Rindu untuk Senja

Sumber foto: Twitter @bheBeAnakMande

Oleh Inggit Winiarti

Dia masih suka bercerita tentang Padang yang elok. Katanya, di sana sangat romantis, ramah, persaudaraan yang kental, masyarakat yang religius dan satu yang paling istimewa, ada Senja yang selalu dikasihinya menetap di sana. Tidak sama dengan tempat dia berpijak saat ini; berisik, macet, banjir, sementara di sudut kota begitu haus akan pendidikan. Lalu satu yang pasti, Senja tak pernah hadir bersamanya di sana.

Bila ia mulakan cerita tentang Padang, harus kusediakan camilan dan soft drink atas kuliah 6 sks darinya. Kebayang gimana dia berkoar-koar tentang Padang, kota di bagian barat pulau Sumatra itu.

***

Senja masih melamun, memikirkan satu per satu kepingan indah yang sempat terpancar di balik gorden rumah kontrakan di Kota Bengkuang. Ia masih menunggu sang empu turun meniti tangga dengan beberapa anak-anak yang cukup membuat keringat menetes tanpa malu. Waktunya dia habiskan dengan bermain gadget, permainan baru yang disarani teman kuliahnya. Katanya sih bagus. Tanpa sadar wanita dengan seorang anak kecil menghampirinya, tersenyum dengan anggun. Jilbabnya melambai-lambai mengikuti arah angin. Dia bertanya banyak hal tentang Senja, pekerjaannya, orang tuanya dan kapan, ya, kapan ikatannya akan diperkuat.

Dia tau Senja ingin hubungan ini dilanjutkan. Tampak jelas dari sorot matanya. Penafsirannya tidak akan salah, dia tau bagaimana seorang lelaki memuja wanita. Sebab dia tau, sebelum dia diusir dari rumah, dia hafal betul semua yang berhubungan dengan hati. Pula dia tau, bahwa dia juga berharap pada Senja.

Baginya Senja bukan hanya seseorang, bukan hanya karakter dalam cerpen yang kini kutulis. Baginya Senja adalah harapan; untuk bahagia, untuk bisa keluar dari beban masa lalu yang menghantuinya setiap malam.

***

Ahh! Kamu tak tau, berapa banyak tisu yang mesti kusediakan di rumah kecil kami ini. Dia tak akan berhenti menangis sampai kantuk benar-benar menariknya perlahan. Dia akan menangis tersedu-sedu saat bercerita tentang Senja pujaan yang tak lagi bisa dipandangi. Tak khayal, di setiap doa malamnya, aku selalu menemuinya menangis tertahan. Berdoa agar Senja selalu diberi kesehatan oleh sang penjaga, agar Senja selalu menunggunya, bisa menerima kekurangannya dan kembali bertemu dengan Senja yang penuh kehangatan.

Di pagi hari, suara ribut mengusik tidurku. Berasal dari dapur, entah siapa yang bangun pagi begini. Sepagi buta di hari libur ini?

Ya, engkau tebak sendiri. Kami hanya berdua di kontrakan; aku dan dia. Siapa lagi yang membuat keributan di dapur itu kalau bukan dia.

Aku berjinjit keluar kamar, berusaha mengintip apa yang sedang dikerjakannya hingga seberisik itu. Dia, kudapati dia sedang bertempur dengan tepung terigu.

“Apalagi yang dibuat anak labil satu ini,” batinku.

Ahh! Sayang sekali aku mengatainya anak, umurnya sudah masuk kepala tiga. Bayangkan saja, umur segitu belum nikah. Sementara aku yang mengatai ia anak labil juga sama dengannya; belum menikah.

“Sedang apa di dapur pagi-pagi gini?”

“Lihat! Gimana? Cantik bukan?”

“Cantik? Wajahmu itu yang kamu maksud cantik?”

“Bukan wajahku. Lihat itu! Pasti rasanya enak,” ia membela apa yang ditunjuknya.

Sejenak aku teringat tentang kue yang baru dia buat. Aku mengingat-ingat, dimana aku pernah bertemu dengan kue serupa ini. Dua kue yang dia buat, satunya jelas tart, kukira ada yang ulang tahun hingga dia rela bertempur sepagi ini. Namun kue satunya? Ahh! Entahlah, aku lupa.

“Coba kucicip, gimana rasanya.”

“Eiitt! Jangan! Itu untuk Senja,” sanggahnya lekas.

“Senja? Senja yang sering kamu ceritain itu, memang dia di sini?”

Sejenak hening memeluk kami, aku tak tau apa yang dia maksud dengan kue untuk Senja. Apa Senja akan datang ke sini dan memperbaiki hubungan mereka? Aku masih sibuk dengan pertanyaan di kepala yang entah siapa bisa menjawabnya, sedangkan dia hilang di balik pintu kamar mandi.

***

Dua bulan berlalu, Senja sangat perhatian kepadanya. Dikunjunginya rutin sepulang kerja, membawakannya kue-kue dari pasar tradisional di dekat kantor. Sering pula mereka menghabiskan waktu ke kedai kopi hanya untuk mencoba kopi jenis baru yang ada disana. Hingga kebiasaan itu tak bisa dia hindari. Setiap kedatangan Senja, tak sekalipun akan terlewatkan selain dia telah menunggu kekasihnya itu membawa kue kesukaan mereka.

Pernah sekali dia buat kue itu sendiri. Rasanya tak seenak kue yang Senja bawakan. Mungkin dia tak ahli tentang masak-memasak. Walau tau demikian, esok dia selalu coba dan coba membuatnya lagi.

Senja itu elok, seperti namanya. Penuh rahasia, tapi menghangatkan. Senja akan bercerita tentang apa saja yang dia temui hari itu. Sekarang dia bercerita tentang seorang gadis, bukan gadis yang duduk di sampingnya, tapi tentang gadis lain. Gadis yang pernah datang dan membuat trauma masa lalu yang berkepanjangan. Trauma tentang cinta.

Kamu ingin tau ceritanya? Baiklah, biar aku jabar dengan seksama.

Namanya Pelangi, gadis perantauan. Berkuliah di Kota Padang, takdir tak sekadar membuat ia dan Senja dipertemukan. Dia mencintai Senja, sama seperti Senja mencintai Pelangi. Dia tidak seperti kebanyakan pelangi yang sering engkau temui, pelangi yang akan hadir setelah hujan. Dia bukan pelangi demikian. Percayalah, dia Pelangi yang manis. Gadis ceria yang menyukai air terjun, menyukai pantai, tentunya juga menyukai senja yang terbenam di ufuk barat.

Seingatnya pertemuan antara Pelangi dan Senja tak begitu baik. Waktu itu, Matahari hampir tergelincir. Gelap pun hampir. Lampu jalan yang temaram tak cukup ramah menerangi perjalanan. Masing-masing mereka, berkendara dengan kendaraan yang dipunya. Lampu di kendaraan mereka pun tak lebih baik soal memberi cahaya.

Tak dinyana, kecelakaan itu terjadi.

Mereka koma, beruntung Senja cukup kuat melawan rasa sakitnya. Entah bagaimana, hari demi hari dihabiskan Senja hanya menunggu Pelangi terjaga. Sampai hari itu tiba, Pelangi siuman.

Ada penyesalan yang tak bisa dirahasiakan. Pelangi bukan lagi seorang gadis. Hingga tanggungjawab itu muncul. Senja melamar Pelangi, belum ada rasa tentu saja. Mereka menghabiskan waktu bersama sebelum malam melambai beserta riak air pantai. Mereka saling berbagi cerita, hingga sadar, mereka jatuh cinta.

Kau mungkin tak tau, tapi aku percaya bahwa cinta datang karena terbiasa. Layaknya Senja yang terbiasa dengan Pelangi di sisinya. Walau semula entah bagaimana.

Hari pernikahan tiba. Senja akan menikahi Pelangi. Mereka akan hidup bersama, berbagi kebahagiaan dan kesedihan. Tinggal serumah, bercengkrama dan berjalan di tepi pantai sambil berpegangan tangan. Itu yang sering Senja fikirkan bila nanti mereka menikah.

Ijab dibacakan lantang. Mereka sah menjadi pasangan suami-istri. Itu adalah saat dimana Pelangi harus keluar dari kamarnya, menjabat tangan suaminya. Namun Pelangi tak kunjung muncul. Dia tak akan bisa mencium tangan Senja, tidak akan pernah, sampai kapan pun.

Sepucuk surat berdarah ditemukan di samping Pelangi. Sebuah salam perpisahan. Ditulisnya, “Aku mencintaimu seperti pelangi yang rindu bau basah, hingga dia hadir lalu dipandangi dengan rasa kagum. Senja, aku memilihmu karena aku tau aku mencintaimu, tapi tidak dengan dirimu. Cintamu bermula karena tanggungjawab yang harus engkau emban. Cintamu karena engkau kasihan, walaupun pada akhirnya aku tau engkau mencintaiku, tapi aku tak bisa melakukannya lebih jauh. Bagaimana mungkin aku tanpa malu menerimamu, sedangkan engkau tau kondisiku.

“Senja, maafkan aku. Tak terkira maluku bila bersanding denganmu, sedang engkau tau aku tak layak untuk itu.”

Janur kuning tak pernah diturunkan, tapi bersanding dengan bendera kuning di rumah Pelangi.

Trauma masa silam yang kini masih dia bawa kemana-mana. Hingga dia bertemu dengan seseorang yang mungkin bisa memulihkan perasaannya.

***.

Tak lama berselang, dia pergi membawa tart yang selesai dihiasnya dengan bebungaan dan cokelat. Aku melihatnya keluar rumah, dia dijemput oleh teman satu kantornya. Barangkali yang sedang ulang tahun teman kantornya, mungkin saja.

Pikirku makin bergerilia, kulempar pandang pada kue yang ada di atas meja dapur yang ditinggalnya. Aku yakin pernah melihat kue ini. tapi aku lupa dimana. “Apa ya, namanya?”

Ingatku, aku bisa menemukannya di pasar. Kue ini familiar.

Libur pagi seperti ini lumrah kuisi dengan bersih-bersih rumah. Menyetel lagu dengan alunan damai, mengambil alat perang di dapur. Tempat pertama yang ingin kubersihkan selalu kamar. Kau tau, kamar kami tak cukup besar. Walau ada yang bilang cukup untuk enam orang.

“Susun sarden tidur rebahan,” canda usai dikunjungi seorang kawan. Sementara lemari kami, persis model lama yang juga kulihat di foto-foto lama. Sibukku dengan eksekusi rutin bersih-bersih ini berlanjut, sampai tak sengaja kutemukan selembar foto lainnya. Foto dengan dia di dalamnya bersama seorang laki laki dan kue. Persis dengan kue yang dibuatnya yang kini ditinggal di meja.

“Siapa laki laki ini? Senja?”

Tercoret catatan di balik foto yang sudah menguning, tulisannya sudah mulai pudar. Pensil murah dipakai untuk menulisnya, jelas.

“Padang, Rindu Senja, 2000, kau harus tau, kue cantik manis buatanmu adalah yang paling enak.”

“Kue cantik manis?” Seingatku, walau ingatanku agak kabur tentang ini, ia tak sama dengan sebutan yang kutahu sebelumnya. Sungguh bilapun aku yang pelupa, itu bukan namanya.

Penasaranku membuncah. Ponselku tampak ikut gerah. Kubilang demikian, sebab ponselku begitu akur saat kue itu kupotret dan seketika mencari tentang kue itu di Google.

Pencarianku dapat titik temu. Benar saja, sejak kapan kue talam berubah nama menjadi kue cantik manis? “Huft!” keluhku. Cinta memang sesukanya, asalkan jangan mereka ganti saja nama planet ini menjadi planet cantik manis.

Lalu apa maksudnya dengan kue itu ditujukan untuk Senja?

Ahh! Sudahlah, mungkin kangennya pada Senja juga tengah membuncah.

***

Engkau mungkin tau ta’aruf atau paling tidak mendengar kata itu. Bagi akhwat seperti dia, ta’aruf dan pengajian itu adalah hal yang lumrah. Begitu pula dengan Senja. Mereka dijodohkan, mungkin kau cukup tau bagaimana ta’arufan dalam agama Islam. Sampai akhirnya mereka jalan bersama, waktu itu.

Sampai dia bercerita di bulan ketiga hubungan mereka. Dia bercerita bagaimana kehangatan di rumahnya berubah menjadi api yang membakar perasaan. Seperti dendam yang mungkin akan surut bila bertemu seseorang yang bisa menerimanya.

Dia bercerita pada Senja, di rumahnya tinggallah ibu, ayah, dua orang adik dan satu anak angkat ibunya. Laut namanya. Menjadi anggota keluarga yang pada usia 10 tahunnya pertama kali diangkat sebagai anak oleh ibu.

Laut, ia selisih 3 tahun dengannya. Dia tahu Laut menyukainya sejak mereka masuk pesantren di salah satu kota di Sumatra Barat. Kala Laut beranjak kelas dua, ia berlaku layaknya anak remaja umumnya. Laut, adik angkatnya itu berpacaran dengan kakak tingkat yang berteman sekelas dengannya di tingkat SMA. Lewat pacaran itu apa yang ingin Laut tuju, dia tak pernah tau.

Sampai suatu hari, dimana mereka diperbolehkan pulang ke rumah, sama seperti pesantren pada umumnya. Di satu pekan, rutin sekali dalam sebulan. Dia pulang bersama Laut. Ditungguinya adik angkatnya itu di depan pesantren. Hingga sore datang, batang hidung Laut tak kunjung muncul ke permukaan.

Kuatir, gegas ia kembali ke dalam pesantren.

“Mungkin anak itu lupa kalau sudah janjian pulang barengan,” pikirnya lekas.

Dia melewati kelas Laut dan terhenti di pojok bangunan itu. Didapatinya Laut bersama Sarah. Mesra.

Perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan adik angkatnya itu, bukan laku santri! Kagetnya campur-aduk bersama marah, kecewa. Ingin rasanya menarik adiknya itu jauh-jauh dari sana.

Tapi semua itu cuma keinginan semata. Laut menoleh, melihat kakak angkatnya itu. Dia ketahuan.

Laut diseret kepojok lain. Laut justru marah, entah marah karena apa dia tak tau. Air mukanya mengatakan seperti itu.

“Laut marah, dengan semua perbuatan yang ia lakukan dan sudah ketahuan ini?!” pikirnya heran.

Laut mengatakan semua hal yang tidak ingin di dengarnya.

“Kenapa?! Kamu mau marah sama aku? Silakan! Dan asal kamu tau, semua ini karena kamu! Kenapa kamu tak pernah sadar bahwa aku menyukai kamu? Jauh sebelum kita dimasukkan ke pesantren, aku jatuh cinta sama kamu saat pertama kali kamu memberiku senyum, Kak! Kenapa kamu tak sadar juga?! Aku yang mengirim surat kaleng itu, memberimu bunga dan mengucapkan kata-kata semangat supaya kamu yakin bahwa kamu bisa lulus di perguruan tinggi idamanmu itu!”

Dia seketika ingat, beberapa kali menemukan bunga di laci meja. Kadang pula sebuah surat berbentuk hati, tapi dia tak pernah tau siapa yang mengirimnya. Dia selalu beranggapan mungkin orang iseng atau ada yang salah meletakkan surat dan bunga itu hingga tersasar ke mejanya. Dia tak punya perasaan kepada siapa pun, dan dia tau tidak ada yang berani menyatakan perasaan padanya.

Laut bingung, entah kenapa dia bisa menyukai kakaknya yang terlalu cuek bahkan padanya.

“Kamu tau? Alasan aku berpacaran sama Sarah hanya untuk membuat kamu cemburu, tapi ternyata kamu tak pernah tanggapi perbuatanku. Aku mencintai kamu, hingga malam-malamku hanya untuk kamu. Mimpi-mimpiku semuanya tentang kamu. Sekarang kamu harus tau, kamu cuma buat aku, Kak!”

Dia tak bisa melawan. Tarikan tangan Laut tak sebanding dengan tenaganya. Selanjutnya, entahlah, aku tak tau selanjutnya seperti apa. Dia akan menangis bila mengingat kejadian itu.

Satu hal yang aku ingat sampai sekarang, Senja memutuskan hubungan mereka tepat setelah dia bercerita tentang alasan dia diusir dari rumah. Senja tak pernah mau mendengarnya lagi. Senja pergi bersama sekumpulan malam yang penuh kepedihan.

***

“Kamu sudah pulang?”

“Iya, aku bawakan kamu makanan. Ntar jangan lupa kamu panasi ya!”

“Biasanya juga kamu yang panasi makanan buat aku, tumben banget sekarang minta aku yang panasi sendiri.”

“Raini, aku mau ke Padang,” ucapnya.

“Kenapa? Apa kamu gak kerasan tinggal sama aku? Siapa yang kamu cari di sana. Apa ibu dan ayahmu sudah mengabarimu dan memintamu untuk pulang?” pertanyaaku terdengar sarkas, tapi aku ingin tau alasan dia mendadak ingin ke Padang.

“Tidak, mereka tak pernah mengabariku setelah kejadian itu. Aku tak tau lagi seperti apa rumah yang disebut kebanyakan orang.”

“Terus, apa yang kamu cari di sana? Luka baru? Luka lamamu saja belum sembuh. Aku tak akan mengizinkanmu ke Padang, bila yang kamu cari hanya kenangan yang menyakitkan, aku tak izinkan. Bagaimana bisa kamu ke sana, air matamu saja belum kering. Tidakkah kamu ingat semalam kamu menangis lagi sampai ketiduran? Mengigau tidak jelas memanggil nama Senja dan kedua orangtuamu. Aku di sini sedih melihatmu, sampai teriakan minta tolongmu membangunkanku lagi. Menetaplah di sini lebih lama!”

“Tidak, Raini. Aku harus pulang. Senja menungguku, dia ingin aku kembali, dia ingin memperbaiki hubungan ini. Aku percaya padanya.”

“Apa harus kamu yang ke sana? Mengapa bukan dia yang menjemputmu? Bukankah dulu kamu pernah beri alamat rumah ini ke dia?”

“Biar saja aku yang ke sana. Aku rindu Padang, ada Senja yang ingin kupandangi dari tepi pantai. Lebih lagi, ada Senja yang menungguku.”

Cukup lama aku berdebat dengannya, menahannya sekadar tak penuhi niatnya pulang ke Padang. Hingga bunyi bel rumah kami membuatku memisahkan diri dengannya. Sesosok lelaki tinggi beruluk salam. Aku hendak menjawab sebelum nama dia terucap setelah salam itu.

“Assalamualaikum, Rindu.”

Tepat di belakangku Rindu terpaku, lidahnya kelu untuk sekadar menjawab salam itu.

“Waalaikumsalam, maaf Anda siapa?”

“Senja. Saya Senja, ingin bertemu Rindu dan meminangnya.”

***

Kini engkau tau, aku tengah berada di pulau lain, terdampar di Kota Bengkuang. Seperti yang pernah dikatakan Rindu kepadaku tentang kota ini, kusaksikan pernikahan mereka, sekaligus menjadi saksi untuk Rindu.

Senja bercerita padaku waktu masih di Jakarta, bahwa dia salah tentang Rindu. Dia terlalu picik, sedangkan dia tau bahwa dia telah lama jatuh cinta pada gadis lesung pipi itu. Hingga dia mendatangi rumah Rindu dan berujung dengan pengusiran yang dia dapat.

Siapa sangka ia tandangi kontrakan Rindu, bertanya tentang gadis yang membuatnya merasa kesepian setiap waktu.

Kau masih ingat gadis kecil yang dibawa Rindu saat bertemu Senja, gadis itulah yang memberi tau semua tentang Rindu kepada Senja. Gadis itu adalah anak pemilik kontrakan.

Rindu tak pernah ingin bertemu dengan Senja hanya berdua. Dia pasti akan membawa seseorang bersamanya, karena baginya begitu lebih baik sebelum mereka benar-benar diikat oleh pernikahan.

Perihal orang tuanya dan Laut, aku tak tau. Mereka tak datang di acara pernikahan Rindu. Mungkin suatu hari nanti, mereka akan berdamai dengan hati mereka sendiri.

 

Sumatera Barat, 28-31 Mei 2017